Kecil-Dewasa di Indonesia

Name: Josef Christofer Benedict

IG Handle: @christoferbn

Kala kecil, duniaku konsisten mengajarkan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang begitu sempurna. Bahwa masyarakat harus jujur, adil dan beradab, saling membantu, serta lebih-lebih “Pancasilais”––apapun itu maknanya. Guruku siap mencoret kertas ulangan teman-teman yang salah menjawab tes budi pekerti. Orangtua sigap dengan sabetan lidi untuk menghukum. Pun orang dewasa lain yang mudah sekali meneriaki anak kecil yang bandel. “Mau jadi apa kamu besar nanti!” seru manusia-manusia tersebut. Keteraturan, hukuman, dan ideologi moral telah didisiplinkan sedari dini. 

Kala dewasa, bukan hanya keterkejutan yang dialami, namun kealpaan dan keterlupaan. Manusia-manusia di sekitarku ternyata kompak menanggalkan apa yang sudah mereka disiplinkan. Dari jalanan hingga kantor dewan, semua menunjukkan satu prinsip: semakin culas, semakin besar peluang “sukses” ala Indonesia: bertabur harta dan kuasa yang kokoh (untung-untung bisa menguasai sepetak lahan parkir). Kala dewasa, kusaksikan Negara Feodalisme Indonesia lewat ruang-ruangnya yang kelabu. Semata artikulasi kuasa, tanpa integritas, dan buta adab. Mudah saja menemukannya. Di teras mini market, kulihat seorang bapak yang diancam untuk membayar kutilan parkir. Dari koridor kampus, kudengar teman-teman memperbincangkan jasa joki skripsi termurah. Di jalan raya, aku dipaksa mengalah dengan asap rokok pemotor dan mobil berstrobo. Lewat televisi ruang tamu, ditayangkan cercah senyum-senyum tikus yang tertangkap KPK. Sementara di kamar, kubaca kicauan Twitter tentang pelarangan ibadah umat beragama. 

Yang kuat, cerdik-pandai, dan berkuasa mampu menavigasi diri mereka, alam, bahkan orang lain pada dua pilihan: patuh atau dibuat jatuh. Rupanya, masa kecilku salah. Aturan, ideologi, bahkan kata “Pancasila” sekalipun bukanlah kompas moral, namun alat legitimasi kuasa. Dimensi ini hadir di segala lini, dari persoalan agraria, agama, alutsista, hingga senggama. Rupanya, masa kecilku salah. Manusia Indonesia bukan mengajarkan moral dan Pancasila; namun gagasan menghukum dan penyebaran rasa takut. Masa kecilku salah. Namun kusadari, inilah negeriku bertumbuh. Pada-nya aku memilih setia, untuk tetap kritis namun waras, dalam pengabdian.


Previous
Previous

Unsolicited Thoughts of an Expat

Next
Next

Lidah yang Berkata