VISUAL BUKU ANAK HARUS IMUT?
“Buku anak itu harus imut, loh.”
“Buku anak itu harus colorful.”
“Topik buku anak jangan terlalu berat.”
Sebagai ilustrator, pasti kita sering mendengar “aturan-aturan” tidak tertulis seperti di atas saat mengerjakan ilustrasi buku anak. Tetapi, apakah benar ada guide saklek soal membuat buku untuk anak-anak?
Pada tanggal 20 November 2023, Ilustrasee mewawancarai Grace Eugenia Sameve, seorang Psikolog dari Tentang Anak. Dalam wawancara tersebut, Kak Grace banyak berbagi tips agar visual dan topik yang kita pilih saat membuat buku cocok dengan tahap perkembangan anak.
1. banyak warna belum tentu baik
Kak Grace berbagi bahwa kita harus menyesuaikan pilihan warna ilustrasi kita tergantung usia anak yang akan membacanya. Semakin muda, semakin simpel warna yang sebaiknya kita gunakan. Semakin dewasa, kita bisa mulai menggunakan warna dan tekstur yang lebih kompleks. Anak-anak usia 0-3 bulan cenderung lebih prefer menangkap gelap terang atau monokromatis. Setelah itu, perlahan anak akan mengembangkan persepsinya terhadap warna-warna simpel yang kontras seperti merah, biru, hijau. Semakin dewasa, anak baru akan bisa mencerna konsep gradasi, perbedaan shade warna seperti hijau tua dan hijau muda, serta penambahan tekstur.
2. Penyederhanaan detail
Banyak yang merasa bahwa gambar untuk anak-anak haruslah imut. Padahal, konsep imut tersebut mungkin datang dari penyederhanaan elemen yang kita gambarkan. Semakin muda seorang anak, mereka cenderung lebih bisa memproses visual yang lebih simpel. Semakin dewasa, ketertarikan dan pemahaman terhadap detail akan semakin berkembang. Contohnya, anak-anak usia dini akan lebih bisa relate dengan ilustrasi wajah yang disimplifikasi ketimbang wajah yang terlalu realistis. Detail tambahan pada suatu objek belum tentu relevan terhadap pemahaman bentuk objek tersebut. Kalau kita memberikan terlalu banyak detail, bisa-bisa malah membingungkan untuk anak-anak yang usianya lebih muda.
3. Konteks visual harus kuat
Meskipun kita boleh menyederhanakan visual, gambar untuk anak usia dini tidak boleh menjadi abstrak. Anak-anak harus tetap bisa membandingkan gambar ilustrasi wajah dengan wajah asli: 2 mata, 1 hidung, 2 telinga, 1 mulut. Hal ini bukan hanya untuk gambar manusia, objek dan dunia yang kita buat dalam ilustrasi kita juga harus bisa dimengerti oleh anak-anak.
Kak Grace bercerita bahwa di Indonesia, banyak konten untuk anak-anak masih diadaptasi dari luar negeri. Padahal, anak-anak kita juga perlu merasakan dunia sehari-harinya (dengan konteks lokal Indonesia) direpresentasikan dalam materi yang mereka konsumsi. Kak Grace dan tim Tentang Anak berusaha menampilkan lebih banyak sisi Indonesia dari buku-buku terbitan Tentang Anak seperti Berkeliling Indonesia yang akan segera terbit.
4. Topik boleh kompleks, tapi….
Tidak dapat dipungkiri, ilustrasi kita akan dipengaruhi oleh topik dari buku yang kita buat. Kak Grace menjelaskan bahwa semakin kecil usia seorang anak, topik yang dipilih sebaiknya semakin sederhana dan konkret, termasuk dalam bentuk perilaku sehari-hari. Contohnya, anak-anak belum tentu paham apa yang dimaksud dengan konsep “baik”. Nah, Kita perlu mendefinisikan “baik” ke dalam bentuk konkret, termasuk contoh-contoh perilaku di keseharian. Kak Grace Bersama tim Tentang Anak melakukan ini dengan merilis Seri Sikap Baik yang mendefinisikan sikap baik melalui kebiasaan mengucapkan beberapa kata seperti “Maaf”, “Tolong”, “Terima Kasih”, serta melalui perilaku berbagi.
Semakin besar usia anak, konsep yang diperkenalkan bisa semakin rumit. Dalam seri berikutnya Tentang Anak akan merilis Seri Karakter Baik dengan topik yang semakin abstrak. Topik-topik tersebut contohnya “Berani” dan “Ingin Tahu”. Bahkan, menurut Kak Grace, konsep-konsep yang lebih sulit seperti keuangan sampai peperangan bisa kita ajarkan asalkan kita menggunakan metafora yang sesuai dengan dunia anak-anak. Tanpa perbandingan tersebut, anak-anak akan sulit memahami topik-topik berat yang ingin kita ajarkan.
5. Harus Konsisten
Berdasarkan pengalamannya, Kak Grace menyampaikan bahwa anak-anak sangatlah konsisten terutama dari segi visual. Kalau kita menggambar sebuah detail di satu halaman buku anak, pastikan detail tersebut selalu ada di halaman berikutnya (jika diperlukan). Anak-anak bisa mengingat detail-detail kecil seperti kemiringan pohon, warna objek, sampai jumlah elemen pada gambar kita. Contohnya, kalau kita menggambarkan buku dengan karakter yang bermain congklak, di setiap halamannya kita tidak boleh salah menghitung jumlah lubang dan biji yang ada di dalam papan congklak tersebut. Sebagai ilustrator, kita dituntut untuk menjadi lebih teliti dalam membuat karya kita.
Pada akhirnya, tidak ada aturan yang saklek saat kita membuat visual maupun cerita untuk anak-anak. Ada waktu dimana warna akan sangat diperlukan, di lain waktu ilustrasi hitam putih mungkin lebih efektif. Tak jarang, gambar kita juga perlu mengikuti vibe yang bermacam-macam dari sebuah cerita. Menurut Kak Grace, yang terpenting kita memastikan bahwa visual yang kita buat selalu child-appropriate, terutama untuk tema-tema tentang hal-hal yang kurang menyenangkan.
Artikel ditulis oleh Dion MBD berdasarkan wawancara bersama Grace Eugenia Sameve.